BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Olahraga adalah budaya
manusia, artinya tidak dapat disebut ada kegiatan olahraga apabila tidak ada
faktor manusia yang berperan secara ragawi/pribadi melakukan aktivitas/kegiatan
olahrag. Salah satu kegiatan olahraga pada umumnya ada yang melakukakn
aktivitas olahraga di GOR. Pada siang hari dalam ruangan olahraga tertutup
(in-dor) khususya yang beratap asbes dan tanpa langit-langit (ceiling),
Terlebih lagi bila sistem ventilasi tidak kuat, sering terjadi peningkatan suhu
yang berlebihan, sehingga sangat tidak nyaman dan bahkan terasa sangat
mengganggu orang-orang yang berada didalamnya sekalipun tidak melakukan
olahraga.
Dalam
pembangunan gedung olahraga ada beberapa hal yang harus diperhatikan, salah
satunya adalah keberadaan ventilasi.Ventilasi bertujuan
mendorong penggunaan pencahayaan alami yang optimal menggurangi konsumsi energy
dan mendukung desain bangunanyang memungkinkan pencahayaan alami semaksimal
mungkin.Keadaan tidak nyaman ini tentu saja dapat berpengaruh buruk terhadap
penampilan para olahragawan. Kondisi tidak nyaman ini tidak dapat dirasakan
dalam Gedung Olahraga (GOR) tertutup kompleks Olahraga Jl.Padjadjarang Bandung.
Keadaan demikian menyebabkan GOR hanya layak dipergunakan pada malam
hari,sehingga oleh karenanya pemanfaatan GOR menjadi tidak optimal. Namun
sekalipun olahraga telah diselenggarakan pada malam hari, keadaan tidak nyaman
masih akan terjadi manakala jumlah membludak-berjubal memadati seluruh ruagan.
Sekalipun ruangan telah dilengkapi dengan sistem pendingin, seperti halnya GOR
tertutup bola-voli kompleks Olahraga Nasional XIV yang lalu.
Pentingnya kualitas
udara dalam ruangan di masyarakat luastempat (lingkungan mikro di mana sejumlah
besarorang berkumpul, seperti GOR merupakan penting karenamasalah pernafasan (Christos.dkk.2017).Keadaan
demikian kiranya perlu menjadi bahan pemikiran para ahli yang terkait dengan
kepentingan untuk meningkatkan prestasi olahraga, yang dapat disumbang dari
berbagi disiplin Ilmu: Arsitektur, Fisika, Fisiologi, dan Olahraga.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peristiwa Bio-Fisika?
2.
Bagaimana Mekanisme pemiliharaan suhu
tubuh?
3.
Bagaimana perbaikan sistem ventilasi?
4.
Bagaiman
desain bangunan yang baik
5. Bagaimana pengaruh ventilasi terhadap kesehatan
1.3
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Untuk mengetahui peristiwa Bio-Fisika
2.
Untuk mengetahui Mekanisme pemiliharaan
suhu tubuh
3.
Untuk mengetahui perbaikan sistem
ventilasi
4.
Untuk
mengetahui desain bangunan yang baik
5.
Untuk
mengetahui pengaruh ventilais terhadap kesehatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pokok
Permasalahan
Prestasi olahraga sangat ditentukan oleh penampilan
yang merupakan hasil pelatihan. Tetapi penampilan sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, khususnya mereka yang belum beradaptasi atau beraklimatisasi dengan
terhadap baik terhadap lingkungan kawasan yang bersangkutan. Iklim lingkungan
yang faktor utamanya adalah suhu, kelembapan dan ketinggian (altitude), dapat
berpengaruh nyata terhadap penampilan olahragawan. Oleh karena itu, maka American College Of Sport Medicine
(Fox,Bowers and Foss,1998) berdasarkan index WBGT membagi kondisi suhu dan
kelembapan lingkungan dalam empat kategori. Index WBGT ialah bilangan suhu yang
menunjukkan derajat kenyamanan lingkungan sesuatu bilangan suhu yang
menunjukkan derajat kenyamanan lingkungan sesuatu kawasan, yang secara
bersama-sama diperankan oleh suhu lingkungan, kelembapan, tingkat pancaran
(radiasi)dan kecepatan angin di suatu kawasan lingkungan, terhadap tubuh manusia.Index
WBGT ditentukan berdasarkan tumus:
WGTB(◦C)=
0.7 wb+0.2 g+ 0.1 db
wb= suhu bola basah, g= suhu bola hitam, db=
suhu bola kering
Dengan
menggunakan index WBGT, maka pengaruh suhu lingkungan,kelembapan dan daya
pancaran (radiasi) panas matahari dan bumi terhadap tubuh manusia telah
diperhitungkan seluruhnya. Suhu lingkungan ditunjukkan oleh termometer bola
kering, daya pancaran panas matahari, bumi dan lingkungan ditunjukkan oleh
thermometer bola hitam, sedangkan kelembapan dapat diperhitungkan dari suhu
yang ditunjukkan oleh termometer bola kering dan termometer bola basah, yaitu
makin rendah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola basah dibandingkan terhdap
suhu yang ditunjukkan oleh thermometer bola kering, maka makin rendah
kelembapan udara dikawasan itu. Termometer bola basah juga akan menunujukkan
suhu yang semakin rendah bila ada.
Gambar
28.1
Perangkat thermometer untuk mengukur indeks WBGT.
Aliran
angin yang semakin cepat. Perangkat termometer demikian harus ditempatkan pada
tempat yang bebas dari lindungan pepohonan atau bangunan, kecuali bila
dimaksudkan untuk mengukur index WBGT suatu ruangan.
Berdasarkan indek WBGT maka terdapat empat kategori yang
masing-masing disertai dengan tanda benderanya dengan warna tertentu, khususnya
pada penyelenggaraan lomba lari jarak jauh agar para olahragawan dan pelatihnya
mengetahui dan menjadi waspada terhadap kondisi lingkungan yang sedang
dihadapinya, dalam hubungan dengan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan bagi para olahragawannya. Keempat index WBGT tersebut menurut
American College Of Sport Medicine adalah sebagai berikut: (lihat Tabel 28.1).
Kondisi WBGT demikian haruslah juga menjadi perhatian
dalam hubungan dengan cabang-cabang olahraga yang dilaksanakan di ruang
tertutup yang mempunyai intesitas tinggi dan durasi yang kurang-lebih setara
dengan lari jarak jauh misalnya bulutangkis, bolabasket,bolavoli, dan olahraga
lain dengan ciri sejenisnya.
Tabel
28.1 Index WBGT
Bendera/Status
|
Index
|
Keterangan
|
1. Merah/Risiko
tinggi
|
23-280C
|
Semua pelari haruss waspada akan
kemungkinan kegawatan panas. Orang yang peka terhadap suhu dan kelembapan
tinggi sebaiknya tidak lari
|
2. Jingga/Risiko
Sedang
|
18-230C
|
Perlu
diingat bahwa index WBGT akan meningkat sesuai perjalanan waktu
|
3. Hijau/
Resiko Rendah
|
Dibawah 180C
|
Tetap
tidak dapat dijamin bahwa tidak akan terjadi kegawatan panas
|
4. Putih/Resiko
Rendah
|
Dibawah 100C
|
Kemungkinan
hyperthermia kecil, tetapi dapat terjadi hypothermia
|
2.2 Peristiwa Bio-Fisika
Bila
suatu satuan volume udara dipanaskan, maka volumenya mengembang, sehingga
berat-jenis (Bj)-nya menurun, artinya udara itu menjadi lebih ringan dari pada
udara sekitarnya yang lebih dingin dan dengan demikian udara yang lebih panas
ini akan bergerak ke atas.
Gambar
28.2
Anemometer.
Dalam
Labotarium Fisiologi ada percobaan yang disebut percobaan Anemometer.
Anemometer merupakan sebuah kerucut yang pada puncaknya terdapat sebuah tabung
kaca yang terletak vertikal dengan baling-baling yang sangat ringan di
dalamnya.
Diameter alas kerucut
±40 cm, sedangkan tabung slinder kaca bagian atasnya mempunyai diameter ±5-7.5
cm. kerucut tidak mempunyai alas dan pada pinggirnya terdapat tiga buah kaki
kerucut setinggi 1-1.5 cm, sehingga pinggir bawah kerucut tidak melekat pada
meja atau lantai tempat bertumpunya. Anemometer terlihat seperti gambar ditas.
Percobaan dengan
anemometer adalah sebagai berikut: Seekor kelinci (makhluk homeotherm)
ditimbang berat badannya dan kemudian dimasukkan kedalam sangkar yang terbuat
dari kawat kasa. Kemudian ditimbang pula sejumlah katak (makhluk poikilotherm)
sehingga berat sejumlah katak sama dengan berat seekor kelinci tersebut diatas.
Katak kemudian juga dimasukkan kedalam sangkarnya dimasukkan kedalam anemometer
untuk beberapa waktu sambil menyakinkan apakah baling-baling anemometer
berputar atau tidak. Setelah diyakini apakah baling-baling berputar atau tidak.
Ternyata ketika kelinci dimasukkan kedalam anemometer baling-baling berputar
dan dihitung berapa putaran per menit. Percobaanberikutnya adalah memasukkan
dua ekor kelinci kedalam anemometer dan juga memperhatikan berapa frekuensi
putarannya per menit. Ternyata frekuensi putaran dengan dua ekor kelinci lebih
cepat dibandingkan dengan bila hanya ada seekor kelinci dalam sungkup
anemometer. Jadi apa yang menyebabkan baling-baling berputar bila kelinci yang
berada didalamnya dan mengapa baling-baling tidak berputar bila katak yang
berada didalamnya? Katak sebagai makhluk poikilotherm suhu tubuhnya sama dengan
suhu lingkungan, oleh karena itu, tidak ada perubahan suhu udara dalam ruang
anemometer. Bila kelinci yang adalah makhluk homeotherm yang berada didalam
anemometer, maka suhu udara di dalam ruang anemometer akan menjadi panas oleh
karena terjadinya peristiwa radiasi dan konduksi panas dari tubuh kelinci ke
udara lingkungan dalam ruang anemometer. Udara yang lebih panas ini menjadi
lebih ringan dan oleh karena itu, bergerak ke atas melalui tabung yang berisi
baling-baling sehingga karenanya baling-baling berputar. Karena volume sungkup
anemometer tidak berubah, maka bila dimasukkan ke dalam dua ekor kelinci, maka jumlah
udara dalam sungkup anemometer relatif menjadi lebih sedikit, sedangkan jumlah
panas yang dihasilkan oleh kelinci menjadi kurang lebih dua kali lebih banyak,
dan inilah yang menyebabkan baling-baling jadi berputar lebih cepat, oleh
karena suhu udara yang menjadi lebih panas menyebabkan aliran udara yang lebih
cepat.
Peristiwa terjadinya
aliran udara disebut sebagai konveksi dan hal ini memang sangat diperlukan oleh
karena udara bukan konduktor panas yang baik bahkan cenderung menjadi isolator
panas, sehingga bila tidak ada konveksi maka pembuangan panas dari kulit ke
udara lingkungan melalui konduksi menjadi tidak berlangsung lebih lanjut.
2.3
Mekanisme Pemeliharaan Suhu Tubuh
Manusia
sebagai makhluk homeotherm senantiasa membentuk panas. Efisiensi manusia
sebagai mesin adalah 25-30%, artinya hanya 25-30% dari seluruh daya (energi)
yang dihasilkan oleh tubuh yang dipergunakan sebagai daya untuk melakukan
kegiatan tubuh/kerja tubuh. Selebihnya berubah menjadi panas dan inilah yang
harus dibuang agar suhu tubuh dapat dipertahakan konstan. Pada waktu
berolahraga, pembentukan panas menjadi lebih besar dan oleh jarena itu, harus
diimbangi dengan pembuangan panas yang sesuai.
Seorang
laki-laki dewasa muda dengan berat badan 70 kg yang gagal membuang panas dalam
keadaan istirahat akan mengalami hipertermi yang akan menyebabkan kematian
dalam waktu kurang dari enam jam. Pada olahraga, pembentukan panas dapat
meningkat menjadi 10-20 kali keadaanya pada istirahat(Pyke dan Sutton, dalam
T.B. of science and medicine in sport,1992), sehingga kegagalan membuang panas
dalam keadaan demikian dapat menyebabkan terjadinya kematian dalam waktu kurang
dari 30 menit.
Pembuangan
panas terjadi melalui mekanisme pancaran (radiasi), hantaran (konduksi) dengan
atau tanpa konveksi. Efektivitas mekanisme-mekanisme pembuangan panas tersebut
sangat dipengaruhi oleh nilai index WBGT serta besar konveksi yang terjadi.
Jakarta dengan suhu lingkungan antara 27-33% ◦C dengan kelembapan antara 60-97%
(Ramalan cuaca TVRI) akan mempunyai index WBGT >28 ◦C, yang merupakan
kondisi tidak aman terutama bagi yang belum beraklimatisasi,sehingga jelas
sangat tidak menguntungkan bagi penampilan olahraga dengan intensitas tinggi
untuk durasi yang panjang (bulutangkis, bolabasket,bolavoli, lari jarak jauhm
dan sebagainya).Pada suhu lingkungan 30◦C (termometerbola kering) pembuangan
panas tubuh melalui pancaran dan hantaran (dengan atau tanpa konveksi), hanya
berperan sebesar 20%. Dalam keadaan demikian maka cara pembuangan panas yang
paling efektif yaitu sebesar 80%, hanya dapat terjadi melalui penguapan
keringat (evaporasi). Namun keadaan akan menjadi semakin berjubalnya penonton
dan kurang efektifnya ventilasi yang sangat diperlukan untuk terjadinya
konveksi menunujang evaporasi. Kondisi demikian cenderung meningkatkan suhu
lingkungan, kadar uap air (kelembapan) dan kadar CO2dalam
ruangantersebutyag berarti makin memperburuk kondisi lingkungan untuk
berlangsungnya olahraga dengan intensitas tinggi dan durasi panjang yang memang
memerlukan banyak O2dan akan menghasilkan
banyak CO2dan
uap air (penguapan keringat) yang akan meningkatkan kelembapan, sehingga
menghambat semua mekanisme pembuangan panas , khususnya proses evaporasi.
Dalam
ruangan untuk bolavoli in-dorsenayan
memang terpasang sistem AC pada dinding-dinding bagian atas, tetapi terbukti
tidak efektif dengan berjubalnya penonton.
Buku
mengimpomasikan kemungkinan perbaikan sistem ventilasi dengan menrapkan prinsip
bio-fisika tersebut diatas, yang diharapkan dapat memberikan dampak perbaikan
terhadap index WBGT dan kadar CO2dalam ruangan
olahraga tertutup dengan ataupun tanpa pemasangan sistem AC.
2.4 Kemungkinan Perbaikan Sistem
Ventilasi
Uraian
di atas mendorong kepada pemikiran bagaimanakah perbaikan sistem ventilasi ini
dapat dirumuskan? Dua faktor yang sangat penting yang menentukan besaran index
WBGT di daerah tropis dataran rendah adalah suhu udara lingkungan dan
kelembapan.Menurunkan suhu udara lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan
sistem pendinginan udara (AC-Air Conditioning), yang sekaligus juga menata
tingkat kelembapannya,karena dengan menurunnya suhu udara lingkungan maka daya
tampung udara terhadap uap air juga akan menurun. Masalah selanjutnya adalah
bagaimana penjabarannya secara teknis? Hal tersebut dituangkan dalam pemikiran
seperti tercatum pada gambardibawah ini yang penerapannya diuraikan dari yang
paling sederhana sampai kepada yang canggih:
1. Penerapan
prinsip konveksi udara (anemometer)
a. Membuat
beberapa cerebong diatap bangunan untuk terjadinya aliran udara panas melalui cerebong di atap bangunan, disertai
dengan:
b. Membuat
lubang-lubang di bagian bawah bangunan untuk masuknya (in let) udara dingin
dari luar bangunan.
Gambar
28.3 Gedung in-door dengan sistem ventilasi yang
disarankan.
2. Prinsip
NO. 1 disertai pemasangan exhaust fan pada setiap cerebongnya.
3.
Penerapan prinsip 2 disertai modifikasi
prinsip 1.b. yaitu dibawah lantai dasar ada rongga bebas (prinsip lantai rumah
panggung) dan dilantai itu dibuat lubang-lubang dengan diameter 1 cm dengan
kepadatan 25 lubang/30cm2sebagai in-let
udara dibagian bawah (lantai) bangunan, dengan cara demikian udara segar akan
masuk ke seluruh ruangan olahraga secara merata dari seluruh luas lantai
bangunan.
4. Diterapkan
sistem ventilasi dengan prinsip no 3, dengan exhaust fan di atap gedung, ditambah dengan in-let udara pada seluruh lantai dasar ruangan (dengan
lubang-lubang diameter 1 cm dengan kepadatan 25 lubang/30cm2)
disertai sistem AC di ruang bawah lantai yang menghembuskan udara sejuk dengan kecepatan
aliran udara yang dapat diatur sesuai kebutuhan melalui lubang-lubang lantai
dasar gedung olahraga,sehingga index WBGT mencapai nilai yang seideal mungkin
serta hendaknya ada peugas khusus yang bertanggung jawab mengatur sistem
tersebut.
2.4.1
Desain Gedung Olahraga yang Baik
Desain gedung olahraga yang
baik harus dilengkapi dengan arena yang digunakan khusus untuk penonton. Hal
ini terutama sekali jika gedung olahraga tersebut sering digunakan untuk
mengadakan acara perlombaan. Antara arena perlombaan dan arena untuk penonton
harus diberi jarak yang cukup sehingga tidak mengganggu konsentrasi pemain
sekaligus untuk memberi perlindungan agar tidak terjadi hal-hal yang
membahayakan.
Khusus untuk area penonton,
desain tempatnya juga menggunakan konsep yang baik sehingga masing-masing
penonton bisa melihat jalannya pertandingan dengan jelas. Desain yang paling
umum digunakan adalah, tempat penonton yang berada di bagian paling depan punya
posisi yang paling rendah dibanding dengan tempat yang ada di belakangnya.
Tempat seperti ini sering dinamakan dengan sebutan tribun.
Olahraga yang menggunakan
iringan musik, juga harus menggunakan sistem kedap suara yang baik, sehingga
tidak terdengar sampai keluar. Contoh jenis olahraga yang menggunakan iringan
musik adalah senam aerobik dan beberapa jenis senam yang lain. Sistem kedap
udara yang diciptakan biasanya memakai kaca mirror karena punya dua fungsi
sekaligus yaitu untuk mengontrol gerakan senam agar tidak terjadi kesalahan.
Fasilitas lain yang juga
harus ada dalam gedung olahraga adalah ruang untuk berganti pakaian, wc dan
toilet, loker untuk menyimpan pakaian, ruang untuk menyimpan peralatan
olahraga, ruang istirahat, kefetaria dan lain-lain. Dan yang lebih penting
lagi, tempat ini juga harus menyediakan ruang khusus yang dipakai untuk
melakukan perawatan darurat jika ada pemain olahraga yang cedera lengkap dengan
peralatan medis. Kemudian untuk desain gedungnya, harus punya karakater yang
kuat dan bisa memunculkan semangat untuk melakukan olahraga bagi masyarakat.
Hal ini akan mendorong para penggemar olahraga untuk datang ke tempat itu.
Keindahan tersebut bisa dimunculkan melalui bentuk bangunan atau gedung yang
unik serta penggunaan warna yang menarik.
Terakhir
untuk penataan desain interior, harus bisa menghadirkan suasana arena olahraga
yang bermutu sehingga para penggemar olahraga akan merasa nyaman untuk
menyalurkan hobi dan kegiatan fisiknya di tempat ini.
2.5 Pengaruh
Ventilasi pada Kesehatan
Manusia termasuk ke
dalam kategori homoethermik, yaitu berdarah panas sehingga manusia mampu
mengatur suhu tubuh tanpa mengubah suhu pada lingkungan. Bagian hypothalamus dari otak anusia memiliki
sel-sel yang mampu mendeteksi perubahan temperatur, dan dapat merespon terhadap
naik atau turunnya suhu. Dan juga hypothalamus memiliki reseptor-rsesptor yang
mampu memberi respon terhadap suhu dingin.
Sistem pencernaan dan sistem otot memiliki peran penting dalam proses
memproduksi panas.
Sementara itu,
saturasi oksigen (O2) pada hemoglobin mengalami penurunan, dan jaringan
hypoxia mengalami peningkatan selama latihan dengan intensitas tinggi (Pelling,
2011. Dalam Polat, 2016: 119). Berdasarkan jumlah oksigen pada otot yang
mengalami penurunan selama latihan olahraga, peningkatan jumlah oksigen yang
dialirkan ke jaringan selama masa pemulihan juga menghasilkan peningkatan waktu
untuk regenerasi untuk penyimpanan oksigen, fosfogene, dan glikogen serta
tingkat pemanfaatan metabolik untuk asam laktat yang mempercepat pemulihan
(O’Learly, 2006 dalam Polat, 2016).
Berada di daerah beriklim tropis dengan suhu dan
kelembaban rata-rata harian tinggi serta kecepatan angin rendah menjadi alasan
pentingnya kinerja yang baik pada sistem ventilasi bangunan. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan naiknya suhu dan kelembaban udara di dalam ruangan.
Kelembaban merupakan media yang menguntungkan untuk bakteri-bakteri patogen
(bakteri-bakteri penyebab penyakit). Jumlah bakteri di udara akan bertambah
jika penghuni menderita penyakit seperti TBC, influenza, ISPA.
Dalam kondisi normal
komposisi zat kimia yang terkandung di udara adalah nitrogen (78%), oksigen
(20,95%), argon (0,93%), karbon dioksida (0,038%), dan sisanya gas-gas lain
dengan komposisi yang lebih sedikit (Vural, 2011: 61). ASHRAE (1999) menetapkan
kandungan CO2 udara di dalam ruang sebagai indikator kualitas udara dan
kecukupan ventilasi di dalam ruang. Konsentrasi CO2 yang dapat ditolerir
dikandung udara di dalam ruang kurang dari 1000 ppm sedangkan udara luar 300 –
500 ppm (Talarosha, 2018: 46)
Studi dari seluruh
dunia secara konsisten mendokumentasikan konsentrasi CO2 dalam
ruangan lebih tinggi mulai dari di bawah 1.000 ppm hingga ekstrem lebih dari
6.000 ppm, jauh melebihi ambang disfungsi kognitif yang tercatat sebelumnya.
Selain itu,
tempat-tempat di mana tingkat metabolisme menjadi tinggi — seperti pusat
kebugaran, gym, dan ruang latihan aerobik — sering kali melebihi standar yang
dapat diterima. Dalam studi pusat kebugaran di Lisbon, Portugal, dalam satu
ruangan terdapat CO2 sebesar 54%, melebihi batas CO2 yang dapat diterima di
setidaknya satu atau lebih dalam ruangan, dengan konsentrasi puncak 5.617 mg /
m3 (3,120 ppm) —dua kali lipat lebih besar dari nilai batas yang ditetapkan
sebesar 2.250 mg / m3 (1.250 ppm).
Sementara
pembakaran bahan bakar fosil dan fotosintesis tanaman sebagian besar mendorong
konsentrasi CO2 di atmosfer, konsentrasi CO2 dalam ruangan sangat bervariasi
karena faktor-faktor seperti jumlah penghuni, tingkat ventilasi, volume udara,
pembakaran sisa, dan peluruhan organik dari makanan dan sampah. Tanpa ventilasi
yang baik, sindrom bangunan berpenyakit dapat menyebar.
Faktor-Faktor Utama yang Mempengaruhi Tingkat CO2 Dalam
Ruangan:
1.
Jumlah
penghuni di ruangan atau ruang
2.
Tingkat
aktivitas penghuni (tingkat metabolisme)
3.
Jumlah
penghuni waktu yang dihabiskan di ruangan
4.
Pembakaran
(memasak, percobaan menggunakan pembakar Bunsen)
5.
Tingkat
ventilasi (pertukaran per jam dengan udara luar yang segar)
6.
Konsentrasi
CO2 di luar ruangan
Mengurangi konsentrasi CO2 yang dikandung udara di
dalam ruang hanya dapat dilakukan dengan proses pengenceran yaitu menambah
udara segar ke dalam ruangan melalui ventilasi alami (Razali, 2015 dalam Talarosha, 2018).
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Prestasi olahraga
sangat ditentukan oleh penampilan yang merupakan hasil pelatihan. Tetapi
penampilan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya mereka yang
belum beradaptasi atau beraklimatisasi dengan terhadap baik terhadap lingkungan
kawasan yang bersangkutan. Percobaan dengan anemometer adalah sebagai berikut:
Seekor kelinci (makhluk homeotherm) ditimbang berat badannya dan kemudian
dimasukkan kedalam sangkar yang terbuat dari kawat kasa.
Efisiensi manusia
sebagai mesin adalah 25-30%, artinya hanya 25-30% dari seluruh daya (energi)
yang dihasilkan oleh tubuh yang dipergunakan sebagai daya untuk melakukan
kegiatan tubuh/kerja tubuh. Selebihnya berubah menjadi panas dan inilah yang
harus dibuang agar suhu tubuh dapat dipertahakan konstan. Pada waktu
berolahraga, pembentukan panas menjadi lebih besar dan oleh jarena itu, harus
diimbangi dengan pembuangan panas yang sesuai.
Menurunkan suhu udara
lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pendinginan udara (AC-Air
Conditioning), yang sekaligus juga menata tingkat kelembapannya,karena dengan
menurunnya suhu udara lingkungan maka daya tampung udara terhadap uap air juga
akan menurun.
DAFTAT
PUSTAKA
Christos H. dkk.
(2017). Studying the Effect of Indoor
Sources and Ventilation on The Concentrations of Particulates in Dining Halls. International Journal of Ventilation, 8.1473-3315.
Giriwijoyo,Santosa.(2017).Fisiologi Kerja dan Olahraga. PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Https:/ loggerindo. Manajemen
karbon dioksida dalam ruangan indoor gedung dan bangunan. Diakses pada Tanggal 10 Oktober 2018, 21.30.
O’Leary. Poots. (2006). The
Cardiovascular System: Desaign and Control, ACSM’s
Advanced Exercise Physiology. Philadelphia: Lippincott William and Winkins.
Talarosha. Basharia. 2018. Jendela dan Dampaknya terhadap
Konsentrasi CO2 di dalam Ruang Kelas, Kajian Literatur. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia,
36. 46-53.
Vural, S. M. J.
(2011). Indoor Air Quality. In S. A.
Abdul Wahab, Sick Building
Syndrome in Public Buildings and Workplaces. Verlag Berlin
Heidelberg: Springer.